Jakarta, CNBC Indonesia – Mayoritas bursa Asia-Pasifik kembali dibuka melemah pada perdagangan Senin (25/9/2023), karena investor menantikan data inflasi di global pada pekan ini.
Per pukul 08:30 WIB, indeks Nikkei 225 Jepang menguat 0,61% dan Straits Times Singapura naik tipis 0,05%.
Sedangkan sisanya kembali melemah. Indeks Hang Seng Hong Kong turun tipis 0,06%, Shanghai Composite China juga melemah tipis 0,04%, ASX 200 Australia dan KOSPI Korea Selatan terkoreksi 0,38%.
Dari Singapura, data inflasi pada periode Agustus 2023 akan dirilis pada hari ini. Konsensus pasar dalam Trading Economics memperkirakan inflasi Negeri Marlion pada bulan lalu cenderung turun sedikit menjadi 4%, dari sebelumnya sebesar 4,1% pada Juli lalu.
Sedangkan inflasi inti, yang tidak termasuk biaya transportasi dan akomodasi pribadi juga diprediksi turun menjadi 3,5% pada bulan lalu, dari sebelumnya sebesar 3,8% pada Juli lalu.
Inflasi membuat pemerintah Singapura sedikit kewalahan. Otoritas Moneter Singapura atau Monetary Authority of Singapore (MAS) mengungkapkan, pihaknya harus menanggung kerugian atau net loss hingga US$ 23 miliar demi untuk memperketat kebijakan moneternya dalam memerangi inflasi.
Direktur Pelaksana MAS, Ravi Menon mengungkapkan, cadangan devisa yang dimiliki otoritas terkuras habis untuk meredam tingginya lonjakan harga di negaranya.
Otoritas Keuangan Singapura mencatat, hingga Maret 2023 kerugian yang dialaminya mencapai 30,8 miliar dolar Singapura.
“Mencerminkan dampak pengetatan kebijakan moneter untuk menurunkan inflasi. Ini merupakan kerugian terbesar yang pernah tercatat oleh otoritas,” jelas Ravi Menon dalam rilis laporan tahunannya dikutip dari AFP, Rabu (5/7/2023).
Lebih lanjut, Menon mengungkapkan 70% dari kerugiannya atau sebesar 21,4 miliar dolar Singapura diperuntukkan untuk melakukan stabilisasi nilai tukar dolar Singapura.
Sementara 30% sisanya, untuk melakukan operasi pasar uang untuk membersihkan kelebihan likuiditas dalam sistem perbankan.
“Inflasi jelas memuncak dan telah dimoderasi,” ujar Menon.
Di lain sisi, bursa Asia-Pasifik yang cenderung melemah terjadi di tengah memerahnya lagi bursa saham Amerika Serikat (AS), Wall Street pada perdagangan akhir pekan lalu.
Pada Jumat pekan lalu, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutupmelemah 0,31%, S&P 500terkoreksi 0,23%, dan Nasdaq Composite turun tipis 0,09%.
Penurunan Wall Street pada Jumat pekan lalu menandai kerugian hari keempat berturut-turut untuk tiga indeks utama. Penurunan beruntun ini terjadi karena investor bereaksi terhadap sinyal dari bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang bermaksud mempertahankan suku bunga lebih tinggi untuk jangka waktu lebih lama.
Sementara, imbal hasil (yield) obligasi AS (US Treasury) melonjak setelah bank sentral memperkirakan kenaikan suku bunga sekali lagi pada tahun 2023.
Yield Treasury pemerintah tenor 10 tahun yang menjadi acuan melonjak ke level tertinggi sejak 2007 pada pekan lalu. Sementara itu, suku bunga 2 tahun menyentuh level tertinggi sejak tahun 2006.
“Hal ini mulai menimbulkan kekhawatiran bagi investor,” kata Charlie Ripley, ahli strategi investasi senior di Allianz Investment Management yang dikutip dari CNBC International.
“Investor mulai terbiasa dengan tingkat suku bunga yang lebih tinggi ini dan apa artinya bagi aset-aset berisiko di masa depan,” tambahnya.
Kekhawatiran juga meningkat karena adanya ancaman penutupan pemerintahan AS atau shutdown, yang dapat mengurangi kepercayaan konsumen dan semakin memperlambat perekonomian. Para pemimpin Partai Republik di DPR AS mengirim majelis ke masa reses pada Kamis pekan lalu.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
Bursa Asia Dibuka Loyo, IHSG Bakal Pesta Sendirian Lagi?
(chd/chd)
Quoted From Many Source