Jakarta, CNBC Indonesia – Bursa Asia-Pasifik dibuka kembali melemah pada perdagangan Selasa (19/9/2023), karena investor masih cenderung wait and see memantau serangkaian rilis data ekonomi dan yang paling utama sikap dari bank sentral utama.
Per pukul 08:41 WIB, indeks Nikkei 225 Jepang ambles 1,14%, Hang Seng Hong Kong terkoreksi 0,36%, Shanghai Composite China melemah 0,28%, Straits Times Singapura terpangkas 0,37%, ASX 200 Australia terdepresiasi 0,47%, dan KOSPI Korea Selatan melandai 0,26%.
Bursa Asia-Pasifik yang cenderung kembali melemah terjadi di tengah naik tipisnya bursa saham Amerika Serikat (AS), Wall Street kemarin.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup menguat tipis 0,02%, S&P 500 bertambah tipis 0,07%, dan Nasdaq Composite naik tipis 0,01%.
Investor secara luas mengantisipasi bahwa The Fed akan mempertahankan suku bunga pada pertemuan pekan ini. Trader akan mencoba memahami lebih baik sikap The Fed terhadap inflasi.
Sebelumnya pada Rabu pekan lalu, inflasi konsumen (consumer price index/CPI) Negeri Paman SamAgustus kembali naik menjadi 3,7% secara tahunan (year-on-year/yoy), dari sebelumnya pada Juli lalu sebesar 3,2% (yoy).
Sedangkan secara bulanan (month-to-month/mtm), CPI AS pada bulan lalu juga naik menjadi 0,6%, dari sebelumnya pada Juli lalu sebesar 0,2%. CPI bulanan AS sesuai dengan prediksi pasar yang memperkirakan kenaikan menjadi 0,6%.
Adapun CPI inti berhasil melandai sesuai ekspektasi ke 4,3% (yoy), dibandingkan periode bulan sebelumnya sebesar 4,7% (yoy).
Inflasi AS diperkirakan masih sulit turun ke depan karena lonjakan harga minyak. AS adalah konsumen terbesar minyak di dunia sehingga pergerakan harga minyak akan sangat berdampak kepada ekonomi AS.
Hingga kemarin waktu setempat, harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) dan Brent mencapai level tertinggi sejak November. Naik hampir 30% sejauh ini pada kuartal ketiga, WTI bersiap untuk mengalami kenaikan harga terbesarnya sejak kuartal pertama tahun 2022.
Harga minyak WTI melonjak 1,27% ke posisi US$ 91,92 per barel. Sedangkan harga minyak Brent melesat 0,92% menjadi US$ 94,79 per barel.
Hal ini karena Arab Saudi dan Rusia pada bulan ini memperpanjang pengurangan pasokan gabungan sebesar 1,3 juta barel per hari (bpd) hingga akhir tahun.
Kendati inflasi masih membandel dan era suku bunga tinggi belum dipastikan kapan berakhir, tetapi pemikiran pelaku pasar juga sepertinya mulai berubah lebihforward lookingdari yang sebelumnya seberapa besar kenaikan suku bunga menjadi seberapa lama The Fed akan memberikan jeda.
Hal tersebut juga semakin didukung dengan data yang ditunjukan CME Fedwatch Tool yang mengukur peluang suku bunga akan ditahan pada level 5,25%-5,50% sudah semakin dominan, yakni mencapai 99%, nyaris 100%.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
Bursa Asia Dibuka Loyo, IHSG Bakal Pesta Sendirian Lagi?
(chd/chd)
Quoted From Many Source